Pengumuman Hasil UN di SMPN 2 Sidikalang Ric
Pengumuman hasil ujian nasional (UN) di SMP Negeri 2 Sidikalang Kabupaten Dairi berakhir ricuh. Peristiwa itu dilatarbelakangi, banyak siswa yang tidak lulus.
Semula, Kepala Sekolah Drs Asbel Tampubolon dan Komite Sekolah Tambun menyarankan, agar lembaran dimaksud dibuka saja di rumah.
Namun, para orangtua kepingin cepat mengetahui hasil testing itu. Spontan saja, puluhan orangtua menyerbu ruang kepala sekolah. Ada yang menangis histeris dan ada pula mengejek dengan bahasa kasar.
Kasek dituding sebagai penanggungjawab kegagalan. Selain menyampaikan aspirasi protes, di antara peremuan itu ada yang langsung merobek-robek lembaran kertas stensil di depan polisi.
“Guru dan kepala sekolah yang bertengkar tapi anak kami yang jadi korban. Konflik ini merugikan siswa. Setahun anak kami berangkat dari rumah namun tak tentu belajarnya. Malah anak kami dibawa demonstrasi,” ujar R boru Manalu ibu dari Boston Tobing siswa yang kalah.
“Kalau anak kami memang bodoh, tentu bisa diterima tetapi ini jelas disebabkan guru dan kepala sekolah tak betul mengajar siswa,” ujarnya.
Ganda Pardede ayah dari Alekta Pardede malah menuding, putrinya tak lulus diduga berhubungan dengan pemberian keterangan anaknya di kantor polisi menyangkut konflik internal. “Ini, kan nyata, anak saya dikalahkan karena memberatkan mereka,” katanya.
Ironisnya, di antaranya siswa kalah itu, adalah siswa berprestasi di ruangannya. Boru Sitorus bunda dari Delima Simanjuntak menyatakan, putrinya juara satu di ruang kelas III 2. Karenanya, ia tak menerima keputusan dimaksud. Kalangan orang tua menduga, ada unsur balas dendam terhadap anak-anak.
Mangisi Hutasoit ayahanda Lastri Hutasoit berharap agar pemerintah menyelenggarakan ujian ulangan. Kalau tidak, terlalu berat bagi keluarga menunggu sampai setahun lagi.
Tambun menyatakan, kegagalan itu hanyalah sukses yang tertunda. Kalau semua lulus, buat apa dibuat ujian, kata pengurus komite mantan guru itu.
Kepada Analisa Asbel membenarkan, kelulusan kali ini 43 persen dari 290 siswa. Kegagalan itu tidak terlepas dari kondisi kurang harmonis antara pihaknya dengan sejumlah guru yang berlangsung setahun lebih. Tidak tentu belajar. Menurutnya, itu adalah hasil yang luar biasa.
Ia tidak tahu apa solusi terhadap persoalan di lembaga itu. Pasalnya, kasus itu sudah sampai ke Sekretaris Kabinet dan Presiden toh sampai sekarang belum ada hasilnya.
Di Sumatera Utara, sudah semua orang tahu, ucapnya. Ia berprinsip semua tahapan dan mekanisme ia jalankan sesuai prosedur. Inilah produknya.
Seorang staf sekolah itu mengatakan, petinggi kabupaten memainkan sandiwara politik di tengah konflik. Karena itu, jalan keluar tak kunjung tampak.
Pendidikan dipolitisasi, hingga pejabat tak berani membuat keputusan final apakah memindahkan kepala sekolah atau memindahkan guru.
Sebelumnya, beberapa guru memprediksi kebobrokan ini. Argumentasinya, banyak guru tidak diberi jadwal mengajar. Dicontohkan, satu-satunya guru olahraga tak diberi kesempatan mendidik.
Bahkan, mata pelajaran yang diikutkan dalam UN di antaranya Bahasa Indonesia juga dikosongkan. Padahal guru hadir. “Kami datang setiap hari tetapi kalau tak ada jam ngajar, bagaimana mau masuk? Kami amat memaklumi nasib dan keluhan siswa.”
Guru sendiri punya dua kantor. Kontra kepala sekolah berkantor di ruangan guru yang ditenpati sebelumnya, sedang guru lain berkantor di ruangan dekat kepala sekolah.
(Source: Harian Analisa)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home